Vatikan Sibuk Membela Diri Dan Abaikan Anak - Anak Korban Pedofilia – Pelecehan seksual terhadap anak-anak merupakan sebuah kejahatan, hal yang tabu, dan dosa yang tak termaafkan. Tapi, sejauh ini tak pernah sekali pun terdengar suara kemarahan Vatikan terhadap meluasnya pelecehan seksual terhadap anak-anak oleh kepastorannya sendiri, sebuah dosa besar mengingat tidak berdayanya para korban dan kekuasaan serta kepercayaan yang mereka berikan terhadap pemuka agama yang melecehkan mereka.
Paus Benediktus XVI membaca surat kabar L'Osservatore Romano di Roma, 23 Juli 2010. Hingga saat ini, Vatikan masih dihantui skandal pelecehan oleh para pastornya. (Foto: AP)
Paus Benediktus XVI membaca surat kabar L'Osservatore Romano di Roma, 23 Juli 2010. Hingga saat ini, Vatikan masih dihantui skandal pelecehan oleh para pastornya. (Foto: AP)
Penulis drama, Carla Seaquist menyatakan, "Dunia, dan juga para korban, telah lelah menunggu, menunggu hierarki Gereja Katolik melakukan hal yang benar di tengah krisis yang telah berlangsung berbulan-bulan. Sayangnya, mereka harus menunggu lebih lama.
"Bukannya membela anak-anak yang telah ternodai, Vatikan justru membela diri. Awalnya Vatikan meminta maaf atas seluruh dosa yang tak termaafkan, kemudian melimpahkan kesalahan kepada dunia sekuler yang dianggap permisif terhadap seks, lalu, setelah mendapat berondongan pemberitaan negatif dari pers, justru berusaha mengesankan diri sebagai korban 'bias' media," tulisnya.
"Masa kecil ribuan orang anak yang telah tumbuh dewasa telah ternoda, bukan oleh orang biasa, tapi justru dari orang-orang yang mendengar pengakuan dosa mereka.
"Gereja di Roma justru melakukan kesalahan yang parah. Awal bulan lalu, Paus Benediktus menyerukan 'pengkristenan ulang' terhadap dunia sekuler. Ia mengumumkan pendirian Dewan Kepausan untuk menjalankan tujuan itu. Lagi-lagi, ia menudingkan telunjuknya jauh dari permasalahan internal gereja sendiri. Padahal, sebelumnya paus mengatakan bahwa krisis pelecehan itu 'betul-betul mengerikan' dan bahwa masalah itu berakar dari 'dosa yang ada di dalam gereja.'
"Dua minggu lalu, untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang membelit mereka, tiba-tiba menentang penahbisan uskup perempuan dan menyebutnya sama dengan 'kejahatan kanonik' seperti pedofilia," tambahnya.
Seaquist mempertanyakan, "Mengejutkan, beginikah tanggapan Vatikan setelah berbulan-bulan bermeditasi terkait krisis pelecehan anak? Atau ini hanya bukti bahwa Gereja Katolik menutup-nutupi rasa bersalah yang universal, dari para pastor, uskup, dan paus, karena moral mereka telah hilang, sebuah hal yang menjadi dasar pendirian gereja mana pun. Ditambah lagi ketidakmampuan, atau ketidakbersediaan mereka mengakui kesalahan."
"Pengakuan bersalah dari (Paus) Benediktus atas kurangnya pengawasan, dari dia dan pendahulunya (Paus) Yohannes Paulus, tidak akan mampu 'menyembuhkan luka' para korban dan gereja itu sendiri. Tapi, sayangnya, yang menjadi tempat mengaku dosa tidak akan mengakui dosa. Padahal sebuah pengakuan kesalahan adalah hal yang alami bagi sebuah institusi moral," tambahnya.
Menurut Seaquist, dunia sekuler justru memiliki kondisi moral yang baik. "Sejumlah kritikus, khususnya kaum neo-ateis mengklaim bahwa goyahnya Gereja Katolik membuktikan superiornya dunia sekuler. Tapi, itu salah. Baik Gereja dan sekuler sama-sama rusaknya. Misalnya, untuk sementara, dunia sekuler memberikan banyak keuntungan, emansipasi wanita adalah yang terbesar, termasuk peningkatan status wanita dalam denominasi Protestan. Tapi, dunia sekuler juga telah mengaburkan batasan moral dalam budaya, garis batas yang memberikan arti dan nilai kehidupan. Hal itu mengakibatkan lahirnya hal-hal buruk, misalnya maraknya pornografi," tulisnya.
"Contoh lainnya adalah menjadikan anak-anak sebagai objek seksual. Hal itu pada dasarnya adalah pelecehan dalam jenis berbeda," tambahnya.
Menurutnya, Gereja Katolik, yang secara teoretis merupakan kekuatan moral, berbuat dosa sendiri "menghancurkan otoritas moralnya untuk melawan, membungkam suaranya sendiri, dan mengerahkan tangan kanannya sendiri."
Menurutnya, baik bagi dunia sekuler maupun religius, anak-anak tidak punya benteng. "Dunia semakin rusak," tulisnya.
Selain penderitaan korban, kata Seaquist, yang paling menyedihkan dalam krisis tersebut adalah akta bahwa keuskupan demi keuskupan, dan Vatikan sendiri tidak memberikan peringatan "(Pelecehan anak) adalah sebuah kejahatan dan harus diusut seperti layaknya kejahatan."
Ia mengecam sikap diam. "Bahkan dari sudut pandang kolot pun, cukup aneh jika melihat Gereja tidak mampu mengurai kediaman itu, belum lagi dampak kejahatannya karena ada semakin banyak korban melayangkan gugatan," tulisnya. ( suaramedia.com )
0 komentar:
Posting Komentar