Rabu, 01 Desember 2010

PENDETA MASUK ISLAM (DR. Muhammad Yahya Waloni )

Warga di kota Tolitoli di penghujung bulan Ramadan 1427 Hijriah belum lama ini, 
dihebohkan dengan salah seorang pendeta bersama seluruh keluarganya memeluk 
Islam. Di mana-mana santer dibicarakan soal Pendeta Yahya Yopie Waloni dan 
keluarganya masuk Islam. Bahkan media internet pun sudah mengakses kabar ini. 
Bagaimana aktivitas eks pendeta itu setelah memeluk Islam. Berikut kisahnya: 

Adaha Nadjemuddin, Tolitoli : PAGI menjelang siang hari itu, nuansa Idul Fitri 
1427 Hijriah masih terasa di Tolitoli. Hari itu baru memasuki hari ke-9 
lebaran. Kendati terik panas matahari masih mengitari Tolitoli dan sekitarnya, 
tetapi denyut aktivitas warga tetap seperti biasa. 

Begitupun di sekitar Jalan Bangau, Kelurahan Tuweley, Kelurahan Baru, Kabupaten 
Tolitoli. Aktivitas sehari-hari warga berjalan seperti biasa. 

Kecuali di salah satu rumah kost di jalan itu, pintunya tampak masih tertutup 
rapat. Di rumah kost inilah, Yahya Yopie Waloni (36), bersama istrinya Lusiana 
(33) dan tiga orang anaknya tinggal sementara. 
“Pak Yahya bersama istrinya baru saja keluar. Sebaiknya bapak tunggu saja di 
sini, sebelum banyak orang. Karena kalau pak Yahya ada di sini banyak sekali 
tamunya. Nanti bapak sulit ketemu beliau,” jelas ibu Ani, tetangga depan rumah 
Yahya kepada Radar Sulteng.
 
Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 
pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang 
Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah Yahya dengan tulus mengucapkan dua 
kalimat syahadat. 

Setelah memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan Muhammad Yahya, 
dan istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah. Begitupun ketiga anaknya. Putri 
tertuanya Silvana (8 tahun) diganti dengan nama Nur Hidayah, Sarah (7 tahun) 
menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya Zakaria (4 tahun) tetap menggunakan 
nama itu. 


Mohammad Yahya sebelum memeluk Islam, pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi 
Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004. Saat itu juga ia sebagai pendeta 
dengan status sebagai pelayan umum dan terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode 
GKI di tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana. Ia menetap di Sorong sejak tahun 
1997. Tahun 2004 ia kemudian pindah ke Balikpapan. Di sana ia menjadi dosen di 
Universitas Balikpapan (Uniba) sampai tahun 2006. Yahya menginjakkan kaki di 
kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006. 

Sambil menunggu kedatangan Yahya, ibu Ani mempersilakan Radar Sulteng masuk ke 
rumahnya. Sebagai tetangga, Ibu Ani tahu banyak aktivitas yang terjadi rumah 
kontrakan Yahya. “Pak Yahya pindah di sini kira-kira baru tiga minggu lalu. 
Sejak pindah, di sini rame terus. Orang-orang bergantian datang. Ada yang 
datang dengan keluarganya. Malah ada yang rombongan dengan truk dan Kijang 
pickup. Karena rame sekali terpaksa dibuat sabua (tenda, red) dan drop kursi 
dari kantor Lurah Tuweley,” cerita ibu Ani. 

Hari pertama Yahya pindah di Jalan Bangau itu, orang-orang berdatangan sambil 
membawa sumbangan. Ada menyumbang belanga, kompor, kasur, televisi, Alquran, 
gorden dan kursi. Mereka bersimpati karena Yahya sekeluarga saat pindah dari 
tempat tinggal pertamanya hanya pakaian di badan. Rumah yang mereka tempati 
sebelumnya di Tanah Abang, Kelurahan Panasakan adalah fasilitas yang diperoleh 
atas bantuan gereja. Sehingga barang yang bukan miliknya ia tanggalkan 
semuanya. 

Tidak lama menunggu di rumah Ibu Ani, datang dua orang ibu-ibu yang berpakaian 
dinas pegawai negeri sipil. Keduanya juga mampir di rumah Ibu Ani. Salah satu 
dari mereka adalah Hj Nurdiana, pegawai di Balitbang Diklat, Pemkab Tolitoli. 
Ibu berjilbab ini ternyata guru mengaji. Dia adalah guru mengaji yang khusus 
membimbing istri Yahya. 
“Saya baru tiga kali pertemuan dengan ibu Yahya. Supaya ibu Yahya mudah 
memahami huruf hijjaiyah, saya menggunakan metode albarqy. Alhamdulillah 
sekarang sedikit sudah bisa,” kata Nurdiana. 

Menurutnya, dia tidak kesulitan mengajari ibu Yahya. Malah, katanya, ibu Yahya 
cepat sekali memahami huruf-huruf hijaiyah yang diajarkan. Karena itu dia 
memperkirakan kemungkinan dalam waktu tidak lama ibu Yahya sudah bisa lancar 
mengaji. 


Hanya sekitar 20 menit menunggu di rumah ibu Ani, bunyi kendaraan sepeda motor 
butut milik Yahya terdengar memasuki halaman rumah kontrakannya. Radar Sulteng 
diterima dengan senang hati, lalu dipersilakan duduk di sofa. Sementara Yahya 
memilih duduk di lantai alas karpet. Badannya disandarkan ke kursi sofa. “Kita 
lebih senang duduk di bawah sini,” tuturnya dengan logat kental Manado. 

Cara duduk Yahya, tampak tidak tenang. Sesekali ia membuka kedua selangkangnya. 
Ternyata karena baru beberapa hari selesai disunat. “Setelah tiga hari saya 
masuk Islam, saya langsung minta disunat di rumah ini,” cerita Yahya, sesekali 
disertai canda. 

Penataan interior rumah kost Yahya tampak apik. Di dinding ruang tamu tampak 
terpampang kaligrafi ayat kursi yang dibingkai dengan warna keemasan. Di sisi 
lain, kaligrafi Allah-Muhammad juga terpampang. Di meja ruang tamu terdapat dua 
buah Alquran lengkap terjemahannya. Di tengah meja itu, juga masih ada tiga 
toples kue lebaran. “Rumah ini saya kontrak sementara. Saya sudah bayar Rp2,5 
juta,” rinci Yahya. 

Di tengah asiknya bercerita, istri Yahya, Mutmainnah menyuguhkan beberapa 
cangkir teh panas. “Silakan diminum air panasnya,” kata ibu tiga anak ini yang 
saat itu mengenakan jilbab cokelat. 

Tidak lama kemudian, dia masuk di salah satu kamar dan mengajak guru mengajinya 
Hj Nurdiana bersama rekannya. Dari balik kamar itulah terdengar suara 
Mutmainnah yang sedang mengeja satu per satu huruf hijaiyah. Terdengar memang 
masih kaku, tetapi berulang-ulang satu per satu huruf-huruf Alquran itu 
dilafalkannya. 

Lain halnya dengan suaminya, Yahya. Pria kelahiran Manado ini mengaku sudah 
bisa melafalkan beberapa ayat setelah beberapa kali diajarkan mengaji oleh 
Komarudin Sofa. Selain Komarudin, selama ini ia juga mendapat bimbingan dari 
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli, Yusuf Yamani. “Hanya lima menit 
saya diajarkan. Saya langsung paham. Surat Fatihah saya sudah hafal,” ujar 
Yahya. 

Selain belajar mengaji dan menerima tamu, aktivitas Yahya juga kerap menghadiri 
undangan di beberapa masjid. Tidak hanya dalam kota, tetapi sampai ke desa-desa 
di Kabupaten Tolitoli. “Saya ditemani beberapa orang. Ada juga dari Departemen 
Agama,” katanya. 

Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 
pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, sekretaris Pimpinan Cabang 
Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. “Hari itu saya sudah mengucapkan dua kalimat 
syahadat yang dituntun Pak Komarudin,” cerita Yahya. Apa yang melatari sampai 
Yahya dan keluarganya memeluk Islam. 


 Mengalami Mimpi yang Sama dengan Istrinya 
Pak Yahya, begitu sapaan akrabnya. Pria kelahiran Manado tahun 1970 ini lahir 
dari kalangan terdidik dan disiplin. Ayahnya seorang pensiunan tentara. 
Sekarang menjabat anggota DPRD di salah satu kabupaten baru di Sulawesi Utara. 
Sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, Yahya saat bujang termasuk salah 
seorang generasi yang nakal. "Saya tidak perlu cerita masa lalu saya. Yang 
pasti saya juga dulu pernah nakal," tukasnya.

Lantaran kenakalannya itulah mungkin, sehingga beberapa bagian badannya 
terdapat bekas tato. Di lengannya terdapat bekas luka setrika untuk 
menghilangkan tatonya. "Ini dulu bekas tato. Tapi semua sudah saya setrika," 
katanya sambil menunjuk bekas-bekas tatonya itu. 

Postur tubuhnya memang tampak mendukung. Tinggi dan tegap. Meski ia pernah 
nakal, tetapi pendidikan formalnya sampai ke tingkat doktor. Ia menyandang 
gelar doktor teologi jurusan filsafat. Saat ditemui, Yahya memperlihatkan 
ijazah asli yang dikeluarkan Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado 
tertanggal 10 Januari 2004. Sehingga titel yang didapatnya pun akhirnya lengkap 
menjadi Dr. Yahya Yopie Waloni, S.TH, M.TH. 

Sebelum menyatakan dirinya masuk Islam, beberapa hari sebelumnya Yahya mengaku 
sempat bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah lamanya, kompleks Tanah 
Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli. Pertemuannya dengan si penjual ikan 
berlangsung tiga kali berturut-turut. Dan anehnya lagi, jam pertemuannya dengan 
si penjual ikan itu, tidak pernah meleset dari pukul 09.45 Wita. 

"Kepada saya, si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis 
artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Tapi dia baik sekali dengan 
saya," cerita Yahya. 

Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, Yahya mengaku berdialog panjang 
soal Islam. Tapi Yahya mengaku aneh, karena si penjual ikan yang mengaku tidak 
lulus Sekolah Dasar (SD) tetapi begitu mahir dalam menceritakan soal Islam. 

Pertemuan ketiga kalinya, lanjut Yahya, si penjual ikan itu sudah tampak lelah. 
"Karena saya lihat sudah lelah, saya bilang, buka puasa saja. Tapi si penjual 
ikan itu tetap ngotot tidak mau buka puasanya," cerita Yahya. 


Sampai saat ini Yahya mengaku tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan 
itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, desa Sandana (salah satu desa di 
sebelah utara kota Tolitoli). Meski sudah beberapa orang yang mencarinya hingga 
ke Doyan, dengan ciri-ciri yang dijelaskan Yahya, tapi si penjual ikan itu 
tetap tidak ditemukan. 

Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal 
keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana (sekarang 
Mutmainnah, red), tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Ia tetap bertahan 
pada agama yang dianut sebelumnya. "Malah saya dianggap sudah gila," katanya. 
Tidak lama setelah itu, kata Yahya, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriah atau 
tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita. Ia antara sadar dengan tidak 
mengaku mimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di 
atas kursi. Sementara Yahya di lantai dengan posisi duduk bersila dan 
berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. "Saya dialog 
dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar," ujar Yahya mengisahkan. 

Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia sendiri tidak 
pernah melihat tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah, Yahya menengadah ke 
atas dan melihat ada pintu buka-tutup. Tidak lama berselang, dua perempuan 
masuk ke dalam. Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa. Namun 
perempuan yang kedua, tersengat api panas. 
 
"Setelah saya sadar dari mimpi itu, seluruh badan saya, mulai dari ujung kaki 
sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria. Saya sudah 
minum obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu," cerita Yahya. 

Sekitar dua jam dari peristiwa itu, di sebelah kamar, dia mendengar suara 
tangisan. Orang itu menangis terus seperti layaknya anak kecil. Yahya yang 
masih dalam kondisi panas-dingin, menghampiri suara tangisan itu. Ternyata, 
yang menangis itu adalah istrinya, Lusiana. 

"Saya kaget. Kenapa istri saya tiba-tiba menangis. Saya tanya kenapa menangis. 
Dia tidak menjawab, malah langsung memeluk saya," tutur Yahya. 

Ternyata tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa. Ia menangis 
karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang 
dimimpikan Mutmainnah. "Tadinya saya sudah hampir cerai dengan istri, karena 
dia tetap bertahan pada agama yang ia anut. Tapi karena mimpi itulah, malah 
akhirnya istri saya yang mengajak," tandasnya. 


Akhirnya, Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 
Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris 
Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah Yahya dengan tulus 
mengucapkan dua kalimat syahadat. 

Setelah memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan Muhammad Yahya, 
dan istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah. Begitu pun ketiga anaknya. 
Putri tertuanya Silvana (8 tahun) diganti dengan nama Nur Hidayah, Sarah (7 
tahun) menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya Zakaria (4 tahun) tetap 
menggunakan nama itu. 

Masuknya Yahya ke agama Islam, menimbulkan banyak interpretasi. Menurut Yahya, 
ada yang menyebut dirinya orang gila. Ada juga yang meragukannya, dan mungkin 
masih banyak interpretasi lain lagi tentang dirinya. "Tapi cukup saja sampai 
pada interpretasi, jangan lagi melebar ke yang lain," pungkasnya. 

Sabtu, 4 November 2006

Sumber :
http://forum.swaramuslim.com/more.php?id=4172_0_16_0_M
http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=40935 


  
  

3 komentar:

Muhammad Sabili mengatakan...

keterangan yang bagus untuk membantai argument lawan. oya saya ikut member.

Unknown mengatakan...

artikel anda bagus bagus folow blog saya ya biar kita bisa sharing!!!,saya sudah folow blog anda

ibaialfara mengatakan...

bagi jiwa yg cerdas maka tidak akan memungkinkan menyandarkan keimanan pada keyakinan yg semu penuh kontraversi dan banyak mengandung hal yg masih abu-abu, prinsip kebenaran dijinjing tinggi spy kita tidak terjerat lingkaran kebodohan yg membingungkan...aneh dimana orang tunduk pada agama dogma manusia tidak boleh berpikir bebas dogma itu bukan dari Tuhan tapi dari manusia yg membodohi

Posting Komentar